Assalamualaikum, blog ini adalah tempatnya yang punya blog ngomong ga karuan dan ngoceh ga penting tentang kesehariannya, keluarganya, dan lingkungannya yang mungkin ga penting buat diketahui oleh para pembaca tapi dirasa cukup penting untuk dibagikan kepada para pembaca sekalian oleh saya si Didik Cumi alias Rinaldi Tri Martono si orang yang punya blog ini.... yah, namanya juga iseng mas, masa cuma orang penting aja yang punya blog. Saya juga pengen punya... oke lah, selamat membaca dan jangan lupa kasih komen ato ngoceh di tempat ngoceh ya, awas lho kalo nggak. Wassalamualaikum...
Aplikasi N-Gage (1) Cerita (20) Confess (1) Dongeng (1) Fitness (2) Game N-Gage (1) Hari-hari (19) HIS7 (1) Horror (5) KASKUS Leaks (5) Kuliah (10) N-Gage (2) Sok Tau (21)

10 Mei 2011

Wong Pajak kok Kere?

Ironis? Ah, bagi saya itu pertanyaan satir. Kere menurut mereka itu 'hanya' masalah belum punya mobil, rumah, dan harta-harta lain. Saya sih ga merasa kere. Karena saya merasa bisa menghidupi anak istri saya dengan cukup layak. Bahkan sesekali saya mampu mengirim orang tua saya beberapa rupiah.

Para penanya ini sedikit banyak berkaca pada sang Phenomenon Gayus HP Tambunan. Menurut mereka, begitulah idealnya seorang pegawai pajak karena sehari-hari berkecimpung dengan UANG. Hah! Ini yang sering membuat saya tertawa. Bisa-bisanya mereka 'menuduh' pegawai DJP itu bermandikan uang Pajak yang mereka bayarkan setiap hari.

"Ah kalau uang pajak kita dikorupsi sama orang pajak terus, buat apa kita bayar pajak?" Hohoho... Sebagai warga negara, tentu semua sadar akan kewajiban membayar pajak dan tentu juga berharap agar pajak yang sudah kita bayarkan dapat dikelola dengan benar, agar mampu menggerakkan negara dan memberikan kesejahteraan bersama. Namun, ga bisa dipungkiri juga, bahwa munculnya praktik penggelapan pajak seperti kasus Gayus Tambunan, sungguh menyakiti hati masyarakat. Sebuah dilema antara sebuah kepatuhan melaksanakan kewajiban dan kekecewaan akibat pengkhianatan oknum pemungut pajak.

Tapi sepanjang pengamatan saya selama ini menjadi pegawai pajak, praktek-praktek semacam itu TIDAK AKAN terjadi apabila tak ada niat dari si Wajib Pajak itu sendiri. Anda lihat, ada berapa saksi dari pihak Wajib Pajak yang merasa dirugikan Bang Gayus? TIDAK ADA. Karena mereka sendiri pun sebenarnya menikmati 'hasil' dari praktek ilegalnya. Sudah jadi rahasia umum kalau mayoritas penduduk Indonesia ini masyarakat yang berfikiran "kalau bisa mudah, kenapa harus dipersulit?"

Pajak saat ini menjadi andalan penerimaan bagi negara. Sebelum tahun 2000, kontribusi pajak hanya berada pada kisaran 60 persen. Kini pajak menjadi sumber pemasukan utama bagi anggaran pendapatan dan belanja negara. Pada APBN 2008, pajak memberikan kontribusi 68,3 persen dari total penerimaan negara atau Rp 609,22 triliun. Pada APBN 2009, penerimaan dari pajak meningkat menjadi 71,1 persen dari total penerimaan negara atau Rp 726,28 triliun. Sudah jelas terihat bagaimana VITAL nya pajak dalam membiayai pembangunan bangsa. Itulah sebabnya, setiap warga negara, baik pribadi maupun kelompok, seharusnya sadar dan yakin bahwa membayar pajak adalah suatu kewajiban (obligation) yang harus ditaati karena terkait langsung dengan nasib hidup negaranya. Kepatuhan atau ketaatan membayar pajak berarti kepatuhan terhadap pemerintah / negara sebagai penyelenggara kepentingan umum.

Ada berbagai alasan masyarakat sebagai wajib pajak menolak atau menghindari membayar pajak, diantaranya masih minimnya penghasilan, akan berkurangnya harta, tidak jelasnya distribusi pajak, dan kekhawatiran terjadinya penggelapan pajak. Alasan terakhir ini bersifat luas. Selain penggelapan pajak seperti yang dilakukan Gayus, pemborosan anggaran pun bisa dikategorikan penggelapan pajak. Daaaaan, 'uniknya' tetap saja 'orang pajak' yang disalahkan. Ga percaya? pernah dengar ungkapan "udah bayar pajak kok jalanan masih berlubang? Dikemanain uangnya oleh orang pajak?".

Lantas, apakah kemudian dijadikan sebuah alasan pembenar melakukan boikot dan keengganan membayar pajak ? Tentu tidak, perlu solusi yang cerdas, dengan kesadaran bersama melaksanakan kewajiban, selain itu harus ada transparansi pendistribusian hasil pajak dan perlunya pengawasan yang ketat bagi para petugas pajak. Pengawasan tidak hanya internal, melainkan juga eksternal. Dibutuhkan peran masyarakat untuk mengawasi dan diperlukan peningkatan akuntabilitas bagi Direktorat Jenderal Pajak, dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah tentang adanya audit dari BPK atau lembaga lain yang berkompeten. Jadi, tidak perlu ada lagi dilematisasi bagi wajib pajak untuk melaksanakan kewajibannya membayar pajak.

Lalu saya (dan kebanyakan pegawai-pegawai pajak lainnya)? Biarlah kami menerima pertanyaan seperti di judul dengan legowo. Memang ini sudah menjadi buah simalakama. Kalo kaya dicibir, kalo ga kaya malah 'ditumbenin'. Hahaha.... sak karepe lah....

Tidak ada komentar: